Sekilas Melihat Ketersediaan Data Meteorologi (Curah Hujan) Studi Kasus Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung

Bencana banjir merupakan bencana yang frekuensi kejadiannya paling banyak terjadi di Indonesia. Data dari  BNPB  menunjukkan bahwa dalam selama periode tahun 1815-2018, bencana banjir sudah terjadi sebanyak 8.202 kali di Indonesia, disusul bencana puting beliung (5.545 kejadian), lalu tanah longsor (4.607 kejadian). Salah satu wilayah di Indonesia  yang cukup sering dilanda banjir adalah wilayah sekitar Sungai Cisanggarung. Dihimpun dari hasil pencarian melalui media online, kejadian banjir di wilayah tersebut terjadi pada tahun 2010 (Maret), tahun 2014 (bulan Februari), tahun 2017 (bulan Februari), dan terakhir pada akhir bulan Februari tahun ini (dimungkinkan terjadi juga sebelum tahun 2010).

Salah satu faktor yang berpengaruh besar terhadap kejadian banjir adalah curah hujan. Informasi yang dihimpun dari media online seperti diuraikan sebelumnya, menunjukkan bahwa banjir memiliki kecenderungan terjadi pada bulan Februari atau Maret. Berdasarkan hasil olahan data hujan di DAS (Daerah Aliran Sungai) Cisanggarung dengan bantuan analisis Thornthwaite Mather (http://www.mitrageotama.com/studi-kekeringan-hidrologis-wilayah-sungai-cimanuk-cisanggarung/), menujukkan bahwa bulan Februari dan bulan Maret adalah bulan dengan curah hujan yang tinggi dibandingkan bulan lain di musim penghujan. Analisis tersebut diperoleh tentunya dengan bantuan data hujan sebagai salah satu data utama. Melalui data hujan pula, dapat memberikan informasi kala ulang besarnya curah hujan harian maksimum dan prediksi besarnya volume limpasan permukaan (banjir) pada beberapa kala ulang, yang tentunya harus didukung oleh kualitas data hujan yang baik.

Data curah hujan juga dapat digunakan untuk memprediksi sebaran penyakit hawar daun bakteri. Penelitian yang dilakukan oleh Merliyuanti (2013), menghasilkan adanya korelasi antara curah hujan dengan penyebaran Xanthomonas campestris pv. Oryzae (penyebar penyakit hawar daun bakteri). Semakin tinggi curah hujan yang  terjadi menyebabkan tingginya penyebaran bakteri penyebar penyakit daun bakteri. Dengan menggunakan model SMCE (Spatial Multi Criteri Evaluation), diperoleh daerah-daerah mana saja yang rentan terserang bakteri penyebar penyakit daun bakteri selama bulan-bulan dengan curah hujan tinggi (50-172 mm/hari). Penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (tanpa tahun), memanfaatkan data hujan sebagai data utama dalam evaluasi dan analisis penyebab bencana banjir di Jakarta. Analisis data hujan dilakukan dengan menggunakan data curah hujan maksimum untuk kemudian dilakukan analisis frekuensi dengan metode Gumbel. Lain halnya penelitian yang dilakukan oleh Susanti, dkk (2017) yang mengkaji kerentanan tanah longsor dengan memanfaatkan data hujan sebagai salah satu parameter yang digunakan dalam analisis. Uraian diatas merupakan segelintir pemanfaatan data hujan untuk analisis dalam berbagai bidang. Melihat banyaknya kepentingan analisis  dengan memanfaatkan data hujan, maka keberadaan data hujan merupakan sebuah elemen yang sangat krusial. Mengingat data hujan merupakan data yang sangat dinamis, maka perawatan alat ukur, pencatatan dan rekapitulasi data merupakan proses yang sangat krusial, agar nantinya dapat digunakan untuk analisis berbagai kepentingan.

Jumlah stasiun hujan, kondisi stasiun hujan, kerapatan dan pola penyebaran stasiun hujan akan mempengaruhi kualitas data meteorolgi suatu wilajah. Pada kasus ini, secara khusus akan menyoroti kondisi data meteorologi (curah hujan) di Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung (Gambar 1). Stasiun hujan  Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung tersebar di tujuh kabupaten, yaitu Kabupaten Brebes, Cirebon, Garut, Indramayu, Kuningan, Majalengka, dan Kabupaten Sumedang. Kota Cirebon masuk dalam Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung, namun stasiun hujan tidak terpasang di kota tersebut. Sebaran stasiun hujan tidak merata pada masing-masing kabupaten. Jumlah total stasiun hujan di Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung berdasarkan data dari Balai Besar Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung (BBWS Cimanuk-Cisanggarung) adalah 176 stasiun hujan. Dari jumlah total 176 stasiun hujan tersebut, sebanyak 37 stasiun hujan tersebar di Kabupaten Cirebon, yang mana merupakan kabupaten dengan keterdapatan stasiun hujan paling banyak. Sementara jumlah stasiun hujan paling sedikit berada di Kabupaten Brebes, yaitu sebanyak 14 stasiun hujan. Lebih jelasnya, jumlah stasiun hujan setiap kabupaten di WS Cimanuk-Cisanggarung divisualisasikan pada Gambar 2.

                       Gambar 1. Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung

Apabila dilihat dari kualitas datanya, masing-masing stasiun hujan yang tersebar di WS Cimanuk-Cisanggarung memiliki perbedaan kualitas yang mencolok. Secara umum, rentang perekaman data hujan yang ada berada pada rentang tahun 1975-2015. Berdasarkan hasil pemilahan data hujan, stasiun hujan yang lengkap (tidak memiliki data kosong) dan memiliki panjang data yang sama (1975-2012) hanya berjumlah 5 stasiun hujan. Kelima stasiun hujan tersebut adalah stasiun Jatiseng, Panongan, Sindanglaut; ketiganya berada di Kabupaten Cirebon, stasiun hujan Bondan (Kabupaten Indramayu), dan stasiun hujan Susukan (Kabupaten Kuningan). Sementara sisanya, yaitu 171 stasiun hujan memiliki data hujan yang tidak lengkap. Kategori data hujan tidak lengkap adalah data hujan yang memiliki nilai 0 dan “-“ dalam setahun dan data hujan yang kosong.

Gambar 2. Jumlah stasiun hujan setiap kabupaten di WS Cimanuk-Cisanggarung

Berdasarkan parameter panjang data dan banyak tidaknya data tidak lengkap dalam setahun, stasiun hujan yang tersebar di Kabupaten Indramayu, Cirebon, dan Kabupaten Kuningan memiliki kualitas data yang lebih baik dibandingkan empat kabupaten lainnya. Sebenarnya, Kabupaten Majalengka memiliki rekam data yang cukup baik, namun pada tahun 1992 ke bawah, rekaman data hujan tidak tercatat sama sekali. Kasus di Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Brebes, rekam data setiap stasiun memiliki rentang yang pendek, serta tidak lengkapnya data hujan setiap tahunnya. Sementara di Kabupaten Garut, panjang data hujan bervariasi antar satu stasiun hujan dengan stasiun hujan lainnya.

Informasi lokasi stasiun hujan sangat krusial dibutuhkan dalam analisis terkait parameter curah hujan. Pada kasus data hujan yang tersebar di WS Cimanuk-Cisanggarung, informasi koordiat  tidak sepenuhnya lengkap. Ketidaklengkapan informasi koordinat stasiun hujan yang menjadi garis bawah adalah stasiun hujan terkait sama sekali tidak memuat informasi koordinat atau stasiun hujan terkait memiliki informasi koordinat yang sama dengan stasiun hujan lainnya. Pada kasus yang kedua, terjadi hampir di semua stasiun hujan di Kabupaten Majalengka. Bila dijabarkan kembali, hanya 71 stasiun hujan dari 176 stasiun hujan yang memiliki informasi koordinat (Gambar 3).

               Gambar 3. Sebaran stasiun hujan di WS Cimanuk-Cisanggarung

Kerapatan stasiun hujan di Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung pada masing-masing DAS juga berbeda-beda. Wilson (1974) membuat klasifikasi penentuan jumlah stasiun hujan berdasarkan luas DAS (Tabel 1). Berdasarkan Gambar 4, jika dihubungkan dengan jumlah stasiun hujan di WS Cimanuk-Cisanggarung yang memiliki informasi koordinat, maka sebagian besar DAS di WS Cimanuk-Cisanggarung memiliki jumlah stasiun hujan yang masih tergolong kurang. Jumlah stasiun hujan yang cukup merepresentasikan luas DAS terdapat pada DAS Cibogo, Cisanggarung, Ciwaringin, dan DAS Kalibangka. Selain dari segi jumlah, tentunya letak sebaran stasiun hujan juga menjadi poin penting. Data curah hujan akan merepresentasikan hujan di wilayah terkait apabila penempatan stasiun hujan juga mempertimbangkan kondisi fisik wilayah tersebut. Dicontohkan, pada kondisi relief berupa pegunungan/ perbukitan, idealnya akan memiliki stasiun hujan yang lebih banyak. Hal ini terkait terjadinya hujan orografis pada daerah bayangan hujan.

Tabel 1. Jumlah stasiun hujan menurut luas DAS

Sumber: Wilson dalam Lindsley (1994)
Gambar 4. Grafik luas DAS vs jumlah stasiun hujan di WS Cimanuk-Cisanggarung

Uraian diatas menjelaskan kondisi data curah hujan WS Cimanuk-Cisanggarung dari segi kuantitas, kualitas, dan kerapatan, namun belum membahas mengenai evaluasi penempatan stasiun hujan. Penjelasan diatas menekankan bahwasannya kondisi data curah hujan di WS Cimanuk-Cisanggarung, bahkan bisa jadi di seluruh wilayah di Indonesia, sangat krusial untuk diperbaiki. Hal ini terkait penggunaan data curah hujan sebagai data penunjang dalam berbagai sektor. Kualitas data hujan yang baik akan menghasilkan output dengan kualitas yang baik pula.

(Artikel ini merupakan penggalan metode yang digunakan untuk pekerjaan Studi Penyusunan Peta Potensi Banjir dan Kekeringan di Wilayah Sungai Cimanuk Cisanggarung)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.