Studi Kekeringan Hidrologis Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung

Bencana alam masih menjadi masalah besar yang mengancam kehidupan manusia. Meskipun teknologi saat ini sudah modern, namun kenyataannya ancaman bencana belum dapat terkurangi secara optimal. Manajemen bencana perlu dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi risiko yang diakibatkan oleh bencana tersebut. Manajemen tersebut berisikan upaya yang perlu dilakukan saat pra-bencana, bencana, dan pasca-bencana.

Ketimpangan sumberdaya air di Wilayah Sungai  (WS) Cimanuk-Cisanggarung ketika musim kemarau dan musim penghujan menyebabkan potensi bencana keairan di wilayah tersebut, salah satunya adalah bencana kekeringan. Potensi curah hujan yang tinggi di WS Cimanuk-Cisanggarung tidak diimbangi dengan kondisi lahan yang mampu menyimpan air dengan baik, sehingga berdampak pada ketidakmampuan lahan untuk menyediakan air di bulan-bulan kering. Salah satu identifikasi kekeringan yang dapat dilakukan adalah identifikasi kekeringan hidrologis. Kekeringan hidrologis berhubungan erat dengan berkurangnya pasokan air permukaan (sungai, waduk, danau) dan airtanah, yang berada di bawah rata-rata sesungguhnya.  Menurut Yevjevich et al (1977), kekeringan hidrologis berkaitan dengan jumlah hujan yang lebih meresap ke permukaan tanah dan bawah permukaan tanah dibandingkan dengan hujan yang menjadi aliran larian secara langsung.

Unit analisis kekeringan  hidrologi di Wilayah Sungai Cimanuk Cisanggarung adalah daerah aliran sungai (DAS), di mana WS Cimanuk Cisanggarung terbagi menjadi 25 daerah alirang sungai (Gambar 1). Metode analisis kekeringan hidrologi didekati dengan menggunakan neraca air Thornthwaite Mather.  Analisis dilakukan dengan melihat rerata debit sungai pada musing kering. Debit sungai yang rendah pada musim kemarau cenderung mengindikasikan adanya kekeringan di DAS yang bersangkutan dari sisi hidrologi.

Parameter yang dipakai dalam analisis neraca air Thornthwaite Mather adalah curah hujan wilayah, evapotranspirasi potensial, accumulated potential water loss (APWL), water holding capacity (Sto), soil moisture storage,  dan evapotrasnpirasasi aktual. Hasil akhir metode Thornthwaite Mather menghasilkan data estimasi debit sungai (runoff) setiap bulan. Estimasi debit sungai setiap bulan tersebut didasarkan pada kejadian hujan dengan probabilitas 80%. Curah hujan probabilitas 80% mengindikasikan bahwa sebesar 80% hujan yang jatuh memiliki minimal kejadian hujan sekian milimeter dalam setahun. Nantinya akan tiga klasifikasi kekeringan hidrologis di WS Cimanuk-Cisanggarung, yaitu kategori kering, sangat kering, dan amat sangat kering.

Gambar 1. Pembagian daerah aliran sungai di WS Cimanuk-Cisanggarung

Langkah-langkah dalam perhitungan neraca air meteorologis Thornthwaite Mather dijelaskan sebagai berikut (Hadisusanto, 2010; U.S. Geological Survey and U.S. Departement of the Interior, 2010; Thornthwaite Mather, 1957).

  1. Menganalisis frekuensi data curah hujan bulanan probabilitas 80%
  2. Menentukan hujan wilayah di setiap DAS, dengan isohyet
  3. Menghitung nilai evapotranspirasi potensial (EP)

EP* = 1,6 (10t/J)a

Keterangan:

EP*           = evapotranspiras ipotensial bulanan belum terkoreksi (cm/bulan)

a                = (675.10-9 J3) – (771.10-7 J2) + (1792.10-5 J) + 0,49239

t                                = temperatur udara rata-rata bulanan (0C)

J                = indeks panas tahunan, yang diperoleh melalui formula:

I                 = indeks panas bulanan, yang diperoleh dari formula:

I = (t/5)1,514

EP = EP* (s.Tz/ 30×12)

Keterangan:

EP           = evapotranspiras ipotensial bulanan (cm/bulan)

S              = jumlah hari dalam bulan tertentu (hari)

Tz            = lama penyinaran matahari

  1. Menghitung selisih curah hujan bulanan (P) dengan evapotranspirasi potensial (EP) (P-EP)
  2. Menghitung nilai accumulated potential water loss (APWL) dengan ketentuan sebagai berikut:
  3. Jika hasil pada poin 2 bernilai negatif, maka diturunkan sebagai nilai mutlak dari APWL pertama dan diturunkan sebagai nilai mutlak dari APWL kedua jika hasil P-EP berikutnya masih bernilai negatif, dimana dilakukan sampai nilai P-EP habis.
  4. Jika nilai P-EP bernilai positif, APWL bernilai 0
  5. Menentukan nilai water holding capacity (Sto), dengan menggunakan formula:

Sto = air tersedia (mm.m) x zonaakar (m) x luaswilayah

Pendugaan air tersedia dan kedalaman zona akar diperoleh berdararkan karakteristik tekstur tanah yang disesuaikan pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1. Pendugaan Nilai Water Holding Capacity

Sumber: Thornthwaite-Mather (1957)
  1. Menghitungnilaisoil moisture storage (St), denganketentuan:
  2. Jika APWL ≠ 0, maka St = Sto. e –(APWL/Sto)
  3. Jika APWL = 0, maka St = Sto
  4. Menghitung ∆St setiapbulan, dengan formula:

∆St = St bulan yang bersangkutan – St bulansebelumnya

  1. Menghitungnilaievapotraspirasiaktual (EA), denganketentuansebagaiberikut:
  2. Jika P>EP, maka EA = EP
  3. Jika P<EP, maka EA = P + |∆St|
  4. Menghitung surplus air (S) dan defisit air (D) dengan formula:

S = (P-EP) – ∆St

D = EP – EA

  1. Menghitung nilai runoff yang diambil dari 50% dari nilai surplus masing-masing bulan yang bersangkutan.
  2. Mengklasifikasikan debit pada musim kering, dimana nilai P<EP, atau P = 0.

Estimasi suhu di setiap DAS didekati dengan menggunakan metode Mock. Karena ketersediaan data klimatologi yang terbatas, maka digunakan satu staisun klimaologi dengan rekam data suhu yang paling panjang, sebagai data input dalam analisis data suhu dengan metode Mock. Analisis Thornthwaite Mather pada setiap DAS di WS Cimanuk-Cisanggarung dilakukan dengan menggunakan satu stasiun hujan, dengan lama perekaman selama 16 tahun (tahun 2000-2015). Stasiun hujan yang dipakai pada masing-masing DAS merupakan stasiun hujan yang letaknya dekat dengan median elevasi DAS. Median elevasi didefinisikan sebagai elevasi yang membagi DAS sama besar. Parameter ini digunakan karena menggambarkan kondisi suhu udara rerata DAS.

Evapotranspirasi potensial diartikan sebagai peristiwa kehilangan air pada tanaman berwarna hijau, memiliki ketinggian pendek dan seragam, serta menutupi permukaan tanah secara sempurna dan tidak pernah mengalami kekurangan air selama pertumbuhannya (Hadisusanto, 2011). Hasil evapotranspirasi potensial WS Cimanuk-Cisanggarung berkisar 51,9-208,9 mm/bulan. Hasil analisis evapotranspirasi potensial 25 DAS di WS Cimanauk-Cisanggarung menunjukkan bahwa bulan November merupakan bulan dengan nilai evapotranspirasi potensial tertinggi. Sebaliknya, evapotranspirasi potensial terendah terjadi pada bulan Juni.

Selisih curah hujan dengan evapotranspirasi potensial menunjukkan nilai negatif pada bulan Mei-November dan nilai positif di bulan Januari-Maret dan bulan Desember. Hal ini menunjukkan bahwa bulan kering di WS Cimanuk-Cisanggarung memiliki kecenderungan terjadi pada bulan Mei-November. Sementara bulan basah cenderung terjadi pada bulan Desember dan Januari-Maret. Hasil selisih hujan dengan evapotranspirasi potensial berkorelasi dengan nilai defisit dan surplus. Bulan Desember, Januari-Maret merupakan kondisi surplus air, yang berarti ketersediaan air secara meteorologis tercukupi. Sebaliknya kondisi defisit air di WS Cimanuk-Cisanggarung akan terjadi pada bulan Mei-November.

Analisis neraca air yang dilakukan di 25 DAS di WS Cimanuk-Cisanggarung memiliki kecenderungan periode musim kemarau terjadi pada bulan Mei-Oktober. Pada periode musim kemarau, akan ditandai dengan sedikit atau tidak adanya hujan. Proses evapotranspirasi akan berlangsung secara terus menerus, menyebabkan peningkatan defisit lengas tanah. Muka air freatik airtanah juga akan menurun, karena berkurangnya simpanan airtanah oleh aliran airtanah ke alur sungai, pengambilan airtanah, dan transpirasi dari zona kapiler. Sumber air pada periode ini berasal dari aliran dasar (baseflow dari airtanah) (Suyono, 1990).

Musim penghujan di WS Cimanuk-Cisanggarung terjadi pada bulan Desember-April. Pada periode ini muka air freatik aritanah meningkat, karena jumlah air yang tersimpan di zona kedap air semakin banyak. Proses evapotranspirasi masih akan terus berlangsung, namun curah hujan terjadi lebih besar, sehingga akan terjadi peningkatan surplus lengas tanah. Ketika kondisi tanah telah jenuh, periode ini akan lebih banyak terjadi limpasan permukaan.

Bulan diantara periode bulan kemarau dan penghujan, yaitu bulan November, merupakan bulan awal terjadinya hujan. Hal ini ditandai dengan nilai surplus dan defisit yang bernilai 0. Pada bulan ini, sebagian hujan yang jatuh akan mengalami proses intersepsi (penguapan pada tajuk-tajuk daun) yang segera menguap, dan sebagian lagi akan tersimpan dan meresap ke dalam tanah. Awal musim penghujan, air hujan yang jatuh akan digunakan untuk membasahi tanah, sehingga limpasan permukaan hampir tidak terjadi dan lengas tanah di permukaan akan meningkat.

Tabel 2. Contoh analisis neraca air Thornthwaite Mather di DAS Cisanggarung

Sumber: Analisi data, 2016

Kondisi kekeringan hidrologis direpresentasikan oleh runoff dari 50% surplus yang dihasilkan (Tabel 3). Debit sungai hasil analisis dari Thornthwaite Mather pada setiap DAS di WS Cimanuk-Cisanggarung ditunjukkan pada Gambar 2. Estimasi debit yang dihasilkan sangat berkorelasi dengan nilai surplus dan kapan bulan kering dan bulan basah terjadi. Pada Gambar 1 menunjukkan bahwa puncak debit terjadi pada bulan Maret, lalu mengalami penurunan hingga bulan Oktober, yang mana merupakan bulan dengan debit sungai yang paling rendah.

Tabel 3.  Contoh analisis estimasi debit sungai di DAS Cisanggarung

Sumber: Analisis data, 2016

 

Gambar 2.1 Estimasi debit pada masing-masing DAS di WS Cimanuk-Cisanggarung (Sumber: Analisis data, 2016)
Gambar 2.2 Estimasi debit pada masing-masing DAS di WS Cimanuk-Cisanggarung (Sumber: Analisis data, 2016)

Debit sungai pada 25 DAS di WS Cimanuk-Cisanggarung berapda pada rentang 5,2-31,3 mm/bulan. Klasifikasi kekeringan hidrologis kelas kering berada pada rentang debit 22,8-31,5 mm/bulan. Klasifikasi sangat kering terjadi jika debit sungai berada pada rentang 14-22,7 mm/bulan, dan klasifikasi kekeringan hidrologis kelas amat sangat kering terjadi pada debit sungai sebesar 5,2-13,9 mm/bulan. Distribusi spasial kekeringan hidrologis WS Cimanuk-Cisanggarung ditunjukkan pada Gambar 3.

Distribusi kekeringan hidrologi kelas amat sangat kering terjadi di sebagian DAS yang terletak di sebagian besar Kabupaten Cirebon (DAS Ciwaringin, Kalianyar, Kedungpane, Kalibangka, Cikalapu, dan DAS Kaliwedi) dan sebagian kecil di Kabupaten Indramayu (DAS Cibuaya dan DAS Pasirangin). DAS Cipager, Kalicilet, Jatiroke, Canggah, Cibogo, Kalijaga, Ciberesi, dan DAS Tanjung merupakan daerah aliran sungai yang memiliki klasifikasi kekeringan hidrologis kelas sangat kering. Klasifikasi kekeringan hidrologis kelas kering terjadi pada DAS Cimanuk. Hal ini terjadi karena pengaruh banyaknya anak sungai yang ada. Daerah aliran sungai Cimanuk memiliki luas area yang sangat luas dengan bagian hulu yangg dilewati beberapa igir pegunungan. Dengan demikian, jumlah anak sungai akan lebih banyak, sekaligus berpengarug terhadap besarnya debit sungai yang dihasilkan.

Gambar 3. Distribusi spasial kekeringan hidrologis WS Cimanuk-Cisanggarung

(Artikel ini merupakan penggalan metode yang digunakan untuk pekerjaan Studi Penyusunan Peta Potensi Banjir dan Kekeringan di Wilayah Sungai Cimanuk Cisanggarung)

2 thoughts on “Studi Kekeringan Hidrologis Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung

  1. Pingback: Studi Penyusunan Peta Potensi Banjir dan Kekeringan di Wilayah Sungai Cimanuk Cisanggarung | MITRA GEOTAMA

  2. Pingback: Ternyata begini kondisi data meteorologis WS Cimanuk-Cisanggarung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.