Tanggapan Terhadap Amblesan Tanah di Kawasan Karst Kabupaten Gunungkidul

Yudhistira Tri Nurteisa1, Ahmad Cahyadi2, Hendy Fatchurohman2, Edi Dwiatmaja3

1CV Mitra Geotama, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta

2Kelompok Studi Karst, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada

3Pemuda Pecinta Alam Gunungkidul, Wonosari, Gunungkidul, D.I. Yogyakarta

Email: yudhistiratrinurteisa@gmail.com

 

Semenjak kejadian Siklon Tropis Cempaka dan Siklon Tropis Dahlia, hingga saat ini linimasa banyak dihebohkan dengan berbagai dampak ikutan dari kedua badai siklon tersebut. Beberapa minggu terakhir ini, masyarakat diresahkan dengan munculnya beberapa fenomena amblesan tanah di beberapa lokasi di Kawasan Karst Kabupaten Gunungkidul. Sampai saat ini (per tanggal 14 Februari 2018), tercatat 23 lokasi amblesan tanah. Banyak masyarakat bertanya-tanya fenomena apa yang sebenarnya sedang terjadi, bahkan beberapa spekulasi tersebar secara broadcast dan cenderung semakin meresahkan masyarakat di Kawasan Karst Gunungsewu, Kabupaten Gunungkidul.

Dalam tinjauan Geomorfologi, nyatanya kejadian serupa memang umum terjadi di wilayah dengan bentuklahan karst. Bentuklahan karst merupakan istilah untuk wilayah dengan karakteristik fisik yang terbentuk oleh dominasi proses pelarutan batuan, di mana proses tersebut menghasilkan kenampakan khas berupa bukit-bukit karst di bagian permukaan dan lorong-lorong gua serta sungai bawah tanah pada bagian bawah permukaan. Dengan karakteristik fisik yang demikian, sebenarnya air hujan yang jatuh pada kawasan karst tidak akan bertahan lama di permukaan tanah, namun akan segera meresap ke batuan ataupun sungai bawah tanah.

Lantas apakah penyebab banyaknya kejadian berupa fenomena genangan hingga banjir yang meluas dan amblesan tanah? Jawabannya kembali pada fenomena siklon tropis yang terjadi pada bulan November dan Desember akhir tahun lalu. Tanggal 29 November 2017 stasiun penelitian Kelompok Studi Karst Fakultas Geografi UGM di Gua Pindul, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul mencatatkan curah hujan sebesar 364 mm selama satu hari tersebut. Hal tesebut bisa dianalogikan dengan hujan yang secara normal jatuh selama 2 bulan dijatuhkan dalam 1 hari saja. Hal ini sontak menyebabkan semua sistem drainase karst kelebihan muatan, di mana air akan semakin lama mengantri untuk masuk ke dalam sistem sungai bawah tanah dan input ke dalam sistem diffuse (sistem rongga antar butir tanah atau batuan) menjadi sangat banyak, sehingga tanah dan batuan menjadi jenuh air. Beberapa kondisi berupa jenuhnya air pada lapisan tanah dan batuan ini menyebabkan berkurangnya kapasitas tanah menginfiltrasi air hujan, sehingga ketika hujan jatuh akan banyak air yang langsung menjadi genangan dan aliran sungai permukaan. Hal inilah yang menyebabkan kondisi di Kawasan Karst Gunungsewu Kabupaten Gunungkidul menjadi semakin sering banjir dan tergenang, bahkan dengan curah hujan yang sebenarnya normal seperti biasanya.

Dampak dari besarnya curah hujan tidak berhenti pada genangan saja, namun juga berdampak pada lokasi-lokasi di mana air masuk ke sistem bawah permukaan. Di antara pintu masuk air ke dalam sistem bawah tanah adalah ponor dan diaklas. Ponor banyak ditemui pada cekungan atau dataran yang dikelilingi oleh bukit (cockpits). Dataran ini biasanya menjadi tempat air berkumpul dan menyebabkan tergenang. Beberapa di antaranya masih menjadi telaga yang permanen sepanjang tahun atau musiman saja. Konsentrasi air yang besar melarutkan batuan di bawahnya, di mana dengan proses pelarutan yang terus terjadi aliran yang semula hanya berupa celah-celah kecil secara perlahan membesar menjadi lorong-lorong. Istilah “kriwikan dadi grojogan” tepat untuk menggambarkan proses tersebut. Lorong-lorong yang terus membesar pada suatu waktu akan menyebabkan struktur batuan tidak dapat menahan beban di atasnya yang pada beberapa kasus diikuti dengan longsoran. Beberapa yang lain terjadi kondisi tanah menjadi sangat jenuh, sehingga tanah dapat mengalir atau tererosi masuk ke dalam ponor dan menyebabkan terbentuknya cekungan atau amblesan tanah.

Beberapa tipe doline dan perkembanganya dijabarkan pada ilustrasi Gambar 1. Amblesan tanah yang terbentuk di Kawasan Karst Gunungsewu, Kabupaten Gunungkidul umumnya memiliki tipe dropout doline, buried doline dan suffosion doline. Hal ini nampak dari kondisi lapangan di mana cekungan yang terbentuk adalah karena hilangnya tanah di bagian dataran pada cockpits dan tidak disertainya dengan runtuhan batu.

Gambar 1. Berbagai tipe doline (http://www.bgs.ac.uk/discoveringGeology/geologyOfBritain/limestoneLandscapes/limestoneTopography/sinkholes.html)

Kami sengaja mendokumentasikan beberapa fenomena tanah amblas tersebut dengan sudut pandang yang sedikit berbeda. Harapan kami dokumentasi tersebut dapat memberikan gambaran yang terukur terkait fenomena tersebut. Di mana dengan dokumentasi tersebut perubahan luasan, kedalaman, dan bentuk amblesan (doline) dapat terukur dan diprediksi potensi bahanya. Dokumentasi sederhana kami lakukan dengan pemotretan udara pada beberapa lokasi kejadian tanah amblas. Foto udara kami pilih karena dengan metode fotogrametri fenomena tersebut dapat dimodelkan secara 3 dimensi dan dapat diukur secara presisi.

Kasus pertama yang berhasil kami dokumentasikan adalah kejadian di Luweng Sampang/ Luweng Blimbing (Gambar 2). Sebenarnya luweng ini sudah ada sejak lama, pencitraan dari Google Earth tanggal 17 September 2017 nampak bahwa luweng ini sudah ada dengan luas 1 hektar. Luweng blimbing termasuk pada kategori dropout doline dengan penciri utama banyak ditemui longsoran tanah.

Gambar 2. Luasan luweng sebelum kejadian Siklon Tropis Cempaka (Sumber: Citra satelit CNES/AIrbus 2017)

Rekonstruksi dari foto udara yang direkam pada tanggal 6 Desember 2017, sesaat setelah banjir 28 November 2017 menunjukkan bahwa terdapat penambahan luas dari Luweng Blimbing dari 1 hektar menjadi 1,45 hektar (bertambah 0,45 hektar) (Gambar 3). Dokumentasi foto udara kami ulang kembali pada tanggal 4 Februari 2018 atau 2 bulan berselang setelah dokumentasi foto udara pertama tanggal 6 Desember 2017. Dari model tiga dimensi yang kami buat, ditemukan bahwa luasan luweng bertambah 468 m2 dan tersebar pada beberapa bagian luweng (Gambar 4). Penambahan luasan ini lebih dikarenakan kondisi lereng pasca longsor pertama masih belum stabil. Bahkan tidak menutup kemungkinan beberapa bagian lereng luweng masih dapat longsor.

Gambar 3. Perubahan luasan luweng setelah longsor pasca Siklon Tropis Cempaka
(Sumber: Foto udara dokumentasi Heri Sulistyo, Desember 2017)

Kondisi lereng yang masih belum stabil pasca longsor dapat dengan mudah diamati dari model 3 dimensi dengan penciri lereng yang tegak dan menggantung. Kondisi lereng yang belum stabil tersebar mengitari sisi barat daya, timur hingga timur laut. Namun yang paling berbahaya dan masih besar peluang longsornya adalah sisi tenggara luweng (Gambar 5). Pada sisi tenggara kondisi lereng tidak hanya tegak, melainkan menggantung dan sudah ditemui retakan vertikal yang cukup besar. Bertolak dari hal tersebut, perlulah kiranya pengunjung menghindari area-area tersebut dan tidak terlalu dekat dengan tubir. Area aman yang direkomendasikan apabila hendak melihat kondisi luweng adalah dari sisi barat laut (dengan catatan tidak mendekati tubir).

Gambar 4. Longsoran baru terjadi pada dinding-dinding luweng yang belum stabil
(Sumber: Foto udara dokumentasi CV.Mitra Geotama 4 Februari 2018)
Gambar 5. Model 3 dimensi menunjukan bahwa lereng sisi tenggara (garis merah) merupakan area yang berpotensi besar longsor (Sumber : model 3dimensi dari foto udara Mitra Geotama)

Dokumentasi serupa juga kami lakukan pada kejadian tanah amblas di Dusun Ngondel Kulon, Desa Krambilsawit, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul. Berbeda dengan kejadian di Luweng Blimbing, tipe amblesan pada lokasi ini adalah suffosion doline dengan ciri material yang runtuh berupa tanah yang disebabkan karena konsentrasi aliran air pada ponor di tengah amblesan tanpa diikuti dengan longsoran. Amblesan memiliki luas 272 m2 dengan kedalaman maksimal 4 m (Gambar 6).

Gambar 6. Hasil foto udara Amblesan Ngondel, berikut profil melintang kedalaman amblesan (Sumber: Foto udara dokumentasi CV.Mitra Geotama 4 Februari 2018)

Kejadian amblesan tanah di Dusun Ngondel serupa dengan yang ditemui pada beberapa lokasi di Gunungkidul, di mana rata-rata berada pada cockpits yang merupakan tempat air berkumpul. Cockpits sendiri memiliki sistem drainase tertutup dan menyerupai corong yang mengumpulkan air hujan yang jatuh pada kawasan sekitar yang dibatasi bukit (Gambar 7). Keberadaan ponor pada bagian paling rendah dari cockpits sebenarnya umum dijumpai di kawasan karst, bahkan berdasarkan penuturan dari warga lokasi amblesan dahulunya pernah menjadi luweng yang tertutup sedimen.

Gambar 7 Ilustrasi arah aliran air pada bentukan ponor di tengah cockpits, garis kuning merupakan lokasi amblesan yang berada pada daerah yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan daerah sekitarnya (Sumber : Citra Google Earth 2017)

Bertolak dari bahasan di atas, sejatinya kita semua harus membiasakan diri pada proses alam yang sebenarnya sudah sejak lama terjadi dan masih akan terjadi dikemudian hari dengan cara mengenali dan menghindarkan diri dari lokasi-lokasi berbahaya. Kita juga harus membiasakan diri untuk tidak mudah menyebarkan berita yang tidak jelas sumbernya, agar tidak timbul keresahan dan penanganan yang serba tergesa-gesa terhadap sebuah fenomena alam. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Terima kasih kami sampaikan kepada Direktur Mitra Geotama yang mendorong adanya riset singkat ini, PPA Gunungkidul dan Pokdarwis Kalisuci yang turut menyumbangkan ide dan tenaga, Heri Sulistyo yang memberikan foto hasil dokumentasi udara 6 Desember 2017 serta seluruh pihak yang membantu proses penelitian dan penulisan.

1 thought on “Tanggapan Terhadap Amblesan Tanah di Kawasan Karst Kabupaten Gunungkidul

  1. Fitri Reply

    Salam sejahtera,
    Saya Fitri Mahasiswa Geografi UI. Saat ini saya sedang menempuh tugas akhir mengenai amblesan tanah khususnya di Kecamatan Semanu dan Kecamatan Ponjong, Kab. Gunung Kidul. Saya ingin mengkaji lebih lanjut mengenai amblesan disana. Apakah saya dapat berdiskusi lebih lanjut dengan peneliti dalam artikel ini dan apakah ada jurnal yang telah diterbitkan?
    Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.